4

4 G VERNMENT SELASA 30 JUNI 2015 Lahan Eks Tambang PT Timah Bisa Dijadikan WPR KORAN BABEL -- Anggota Komisi III DPRD Kepulauan Babel Ir. H. Azwari Helmi mengatakan, lahan eks tambang milik PT. Timah Tbk masih memungkinkan untuk dijadikan WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat). Hal ini mengingat pola penambangan yang dilakukan oleh PT. Timah yang tidak pernah total mining. Hal ini disampaikan oleh Azwari Helmi merespon upaya yang telah dilakukan oleh Gubernur Rustam Effendi untuk melegalkan usaha pertambangan rakyat. Salah satunya adalah merealisasikan keberadaan WPR. “Sepertinya PT. Timah sendiri berkeberatan untuk memberikan konsesi lahan untuk dijadikan WPR. Oleh karena itu saya pikir lahan-lahan eks tambang yang sudah selesai dieksploitasi masih mungkin dijadikan WPR. Tinggal teknis pengalihan status dan fungsinya saja yang perlu dibahas lebih lanjut,” ujar Helmi, Senin (29/6) kemarin. Helmi beralasan, akibat PT. Timah tidak melakukan total mining, menjadi pemicu ramainya masyarakat yang melakukan penambangan di eks PT. Timah. Menurutnya inilah salah satu peluang untuk dapat dilegalkan bagi usaha pertambangan masyarakat. “Seandainya PT. Timah melakukan total mining. Bahkan bila perlu tidak tersisa saya pikir lahan-lahan eks tambang yang sudah selesai dieksploitasi masih mungkin dijadikan WPR. Tinggal teknis pengalihan status dan fungsinya saja yang perlu dibahas lebih lanjut.” barang sebiji timah pun, tentunya tidak akan ada masyarakat yang mau menambang lagi di wilayah eks PT. Timah. Namun kenyataannya, PT. Timah selalu meninggalkan sisa, nah sisa ini mungkin kecil bagi PT. Timah, tak seimbang dengan kelas TN atau TK, namun bagi rakyat, jumlah yang disisakan tersebut sangat banyak dan bisa bikin kaya. Alhasil mereka pun nekat mengeksploitasi kembali eks tambang tersebut. Nah kenapa tidak dijadikan WPR saja lahan tersebut. Kan banyak itu, masa dari puluhan tahun lalu PT. Timah bekerja belum ada satupun yang selesai,” tandas Helmi. Terkait hal ini Helmi mengatakan akan segera melakukan koordinasi dengan PT. Timah, untuk mempertanyakan wilayah atau blok IUP milik PT. Timah yang telah selesai diusahakan, yang mana yang telah dieeklamasi dan telah dikembalikan ke Pemerintah. “Saya kira tidak mungkin lah jika sudah selama ini melakukan kegiatan pertambangan tapi tidak ada yang sudah dikembalikan. Lagi pula perijinan IUP itu ada batas masa berlakunya. Tidak mungkin yang sudah selesai masih diperpanjang perijinannya. Nah inilah yang rencananya kita lakukan untuk memanggil pihak PT. Timah, agar mereka bisa melansir data-data tersebut,” tandasnya. Terkait pola pengelolaan pertambangan, Helmi sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Gubernur, yakni adanya penunjukan bapak angkat yang bertanggung jawab atas kegiatan tambang rakyat. Misalnya Koperasi dan BUMD yang menjadi koordinator sekaligus penanggung jawab WPR atau pertambangan Rakyat tersebut. “Selain itu juga PT. Timah hendaknya dapat lebih proaktif mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa mereka bisa melakukan kemitraan dengan wadah koperasi. Dengan begitu masyarakat pasti paham dan mengerti bahwa mereka bisa mendapatkan legalitas dari status pekerjaannya. Jika masyarakat sudah mendapatkan kepastian hukum, maka aktivitas keekonomian pertambangan rakyat makin konkrit. Dan misi Gubernur untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan dan pro rakyat dapat terealisasi,” ujar Helmi. (jar)      Pada prinsipnya sampai kapanpun masyarakat pesisir dan nelayan tidak pernah setuju atas semua bentuk pertambangan terlebih lokasi penambangan itu di wilayah tangkap ikan nelayan.” UU NO 4 Tahun 2009 pasal 113 ayat 1 tentang Minerba menyebutkan, Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila terjadi keadaan kahar, keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan, apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batu bara yang di lakukan di wilayahnya. “Jadi memang tidak ada satu alasan pun (menurut undang undang) bahwa demo besar-besaran jadi kajian untuk mencabut IUP OP yang telah dikeluarkan oleh Bupati Bangka Selatan.Tapi gerakan masyarakat minimal telah memberhen      PT SJI yang akhirnya dilanjutkan dengan pencabutan IUP OP perusahaan tersebut,” ucap Kodi. Namun, Kodi yang sekaligus berprofesi sebagai Nelayan tersebut menegaskan, meski PTUN Palembang mengabulkan gugagatan PT.SJI terhadap SK Pencabutan IUP OP PT. SJI oleh Bupati Basel, Nelayan Batu Perahu dan sekitarnya tetap menolak keberadaan kapal isap di perairan setempat. “Pada prinsipnya sampai kapanpun masyarakat pesisir dan nelayan tidak pernah setuju atas semua bentuk pertambangan terlebih lokasi penambangan itu di wilayah tangkap ikan nelayan,” tegas Kodi. “Kami sadar bahwa dengan penolakan kami berarti kami telah melawan orang hebat yang mem-back up PT SJI ini, tapi kami tidak pernah takut menghadapinya karena kami masyarakat nelayan lebih memiliki hak atas laut daripada perusahaan tambang yang jelas-jelas memberikan dampak yang buruk untuk kehidupan para nelayan. Jadi Saya tidak begitu salut terhadap lawyer PT SJI ini atas kemenangan gugatan mereka, karena mereka semestinya memang memenangkan perkasa ini sebab kajian pencabutannya sudah jelas.Tapi menurut saya jangan bermimpi KIP MUTIARA HITAM 3 PT SJI ini bisa beroperasi di WIUP-nya (daerah laut Mempunai),” tegasnya lagi. Menurut Kodi, izin IUP OP PT.SJI yang dikeluarkan oleh Bupati Bangka Selatan cacat hukum karena bertentangan dengan UU MINERBA Pasal 48 dan PP NO 23 tahun 2010, “Jadi jika kita ingin mengimplementasikan apa yang tersurat dan tersirat dalam UU MINERBA tersebut dan saya mau bertanya diimana Lokasi pengolahan dan pemurniannya serta pelabuhannya?. bukankah semuanya itu ada di Kota Pangkal Pinang (Ibukota-red). Itu artinya cuma Gubernur yang berwewenang mengeluarkan IUP OP PT SJI tersebut. Lalu mengapa justru Bupati yang mengeluarkan izin tersebut?. Apa alasannya?. Menurut kajian tersebut jelas Bupati menyalahgunakan kewenangannya,” tukasnya. Lanjut Kodi, sesuai dengan pasal 165 UU MINERBA, bahwa setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2(dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp.200 juta.         (koranbabel/tomasheru)            KORAN BABEL -- Nelayan Batu Perahu, Toboali Bangka Selatan (Basel), kembali terusik dengan dikabulnya gugatan PT. Sumber Jaya Indah (SJI) oleh PTUN Palembang atas Surat Keputusan Bupati Basel tentang pencabutan izin usaha pertambangan operasi produksi PT. SJI. “Mendengar berita gugatan PT SJI Dikabulkan PTUN Palembang sebenarnya tidak buat kami gelisah, karena dari awal saya sudah tau kalau pencabutan izin tersebut memang cacat hukum karena tidak merujuk pada uu no.4 tahun 2009 pasal 113 ayat 1,” ujar Ketua Pelipas, Kodi Midahri kepada wartawan, Senin (29/6) kemarin. “Demikian dengan konsekuensinya bagi Gubernur yang membiarkan Kewenangan diambil oleh Bupati?. ini jelas harus diperjuangkan.Untuk itu saya dan kawan kawan akan terus menyelesaikan masalah ini sampai ke akar-akarnya dan tidak ada kata menyerah untuk melawan kedzoliman. Dan Insya Allah dalam waktu dekat saya dan ketua nelayan (Joni Zuhrired) serta kepala lingkungan 4 (April-red) akan menanyakan perkembangan pengaduaan atas penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Bupati Bangka Selatan atas penerbitan izin IUP OP PT SJI ke Kasi penkum dan Humas Kejati Bangka Belitung dan jika Kejati Babel tidak bisa menangani masalah ini maka kita akan ke Polda Babel,” ancam Kodi. Selain itu Kodi juga mengatakan, bahwa dirinya beserta rekannya akan kembali menanyakan pengembangan laporan tentang pengaduan terkait proses Amdal PT SJI yang dinilai sudah bertentangan dengan UU no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,PP no 27 tahun 2012 tentang izin Lingkungan dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 17 tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan dan izin Lingkungan yang dilakukan pihak pemerkarsa ke Sekretariat Penanganan Pengaduan Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “yang mana sampai hari ini atas laporan saya baru mendapatkan surat tembusan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang ditujukan kepada Kepala Badan Lingkungan Hidup Bangka Selatan tertanggal 21 April 2015,” tukasnya. “Dan dalam hal ini nelayan Batu Perahu dan sekitarnya termasuk dalam masyarakat yang terkena dampak karena limbah dari penambangan tersebut akan mengenai pesisir pantai Batu Perahu karena pengaruh arus surut air laut dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan proses Amdal, karena lokasi penambangan PT. SJI tersebut merupakan daerah tangkap ikan nelayan. Lalu jika SJI merasa bagian dari NKRI seyogyanya mereka menghormati hak-hak masyarakat dan nelayan Batu Perahu dan sekitarnya,” pungkas Kodi. (ton) KORAN BABEL -- Keberadaan Kapal Perang (KRI) yang ditempatkan di wilayah perairan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung disebut-sebut menjadi momok bagi para penambang. Para penambang mengaku ketakutan melakukan kegiatan, sehingga membuat resah para penambang di laut. Namun hal itu ditepis oleh Bupati Bangka, H Tarmizi H Saat. Menurutnya, menyangkut keberadaan kapal perang, hal itu hanya persiapan menjaga wilayah Indonesia, karena menyangkut wilayah Laut Cina Selatan, “Kita melihat tidak dalam kapasitas untuk menakuti-nakuti TI Apung. Masa pemerintah menakut-nakuti rakyat, itu tidak mungkin,” ungkap Tarmizi ketika ditemui sejumlah wartawan di ruang kerjanya, Senin (29/6). Dijelaskan oleh orang nomor satu di Bangka ini, pihaknya belum mendapat informasi yang akurat terkait kapal perang untuk memberantas TI Apung dan menakut-nakuti penambang di laut. “Jadi kita imbau kepada para penambang tenang dan menunggu regulasi dari pe“Kalau kapal perang untuk menakut-nakuti rakyat itu tidak demikian. Sebab persoalan penambangan semua sudah diputuskan pemerintah pusat atas masukan dari di daerah.” merintah pusat. Kalau kapal perang untuk menakut-nakuti rakyat itu tidak demikian. Sebab persoalan penambangan semua sudah diputuskan pemerintah pusat atas masukan dari di daerah. Untuk itu kita harus menjaga bersama,” paparnya. Menurut Tarmizi, yang terpenting saat ini lingkungan Bangka Belitung harus dijaga bersama. Tentunya yang harus dipikirkan 50 tahun kedepan keberlangsungan daerah ini. “Jangan sampai kita memberi izin tambang rakyat, namun membuat kerusakan lebih parah. Sekarang ini saja, tidak ada izin sudah menambang dimana-mana. Jadi kita tunggu saja keputusan Presiden. Kalau persoalan larangan menambang itu, sudah jelas dilarang beroperasi ditapak wisata, hutan lindung dan tempat-tempat kepentingan umum. Kita tidak pernah memberi izin dan sekarang kewenangan di Gubernur,” tuturnya. Ditambahkan Bupati, mengenai TI Apung, hal itu masih menunggu legalisasi pemerintah pusat, usai pertemuan Gubernur dengan Presiden beberapa waktu lalu di Jakarta. Diakuinya, kondisi di Bangka     tersebut sangat tidak ramah lingkungan. Karena banyak faktor yang harus dipikirkan termasuk TI Apung , tambang rakyat yang lokasinya di laut. ”Jadi kita rasa pemerintah pusat perlu memanggil para Bupati, juga pelaku penambangan, supaya persyaratan-persyaratan adanya tambang rakyat memenuhi persyaratan-persyaratan yang diakui secara hukum di negara Indonesia. Kemudian menyangkut K3, menyangkut lingkungannya serta termasuk masa depan daerah. Secara integral sudah kita bahas, kita pikirkan kemudian bagaimana teknisnya dan taktis operasionalnya bisa dilaksnakan dengan baik,” pungkasnya. (tom)      KORAN BABEL -- Ketua Umum LSM Gerakan Masyarakat Peduli Lingkungan (Gempa) Provinsi Kepulauan Babel, Aditia Pratama menilai bahwa wacana ditetapkannya Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang digaung-gaungkan oleh pemerintah Provinsi, Kabupaten dan beberapa kalangan, hanyalah akan menguntungkan kepentingan para pengusaha semata. Pasalnya dengan adanya WPR pengusaha bisa dengan mudah mendapatkan timah tanpa harus kucing-kucingan dengan penegak hukum, “Saya melihat WPR ini bukanlah murni untuk kepentingan rakyat, kalau kita amati sekarang rakyat biasa-biasa saja, yang kebakaran jenggot itukan justru pengusaha, tetapi rakyat yang dikambing hitamkan, baik itu dengan alasan ekonomi lesulah, pasar sepi dan sebagainya,” kata Adit. Adit meminta kepada Gubernur Kepulauan Babel untuk tidak terpancing dengan opini-opini yang terbentuk sekarang ini, “Kami sangat mengapresiasi apa yang dilakukan Bapak Rustam Effendi selaku Gubernur dengan mendatangkan bapak presiden ke Babel, sehingga bisa melihat langsung keadaan di Babel. Tetapi terkait WPR saya kira harus di review (tinjau-red) kembali. Cukuplah sejak 2001 hingga kini rakyat dibolehkan menambang, sehingga tidak jelas lagi kemana timah kita berlabuh. Sampai saat ini saja rakyat Babel belum memasuki tahap sejahtera seperti apa yang digaung-gaungkan dulu,” imbuhnya. Terlebih lagi kata Adit, payung hukum dalam melegalkan WPR baru sebatas angan-angan, belum ada gambaran yang konkrit, justru akan bersinggungan dengan beberapa Undang-Undang, “Bila bicara pertambangan tentu akan berdampak pada lingkungan, saya contohkan perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Timah dan perusahaan-perusahaan swasta saja belum maksimal melakukan kaedah-kaedah penambangan yang baik dan benar, apalagi bila tambang rakyat dilegalkan, mau jadi apa negeri ini?. Apa yang akan kita wariskan untuk negeri yang katanya indah ini,” ungkap Adit. Adit mengajak seluruh el    timah merupakan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak bisa diperbaruhi lambat laun pasti akan habis. Apa yang menjadi perbincangan terkait perekonomian rakyat Babel bergantung kepada timah. Tidaklah benar 100 persen, timah hanyalah salah satu SDA yang mendukung kearah kesejahteraan. “Lesunya prekonomian sekarang ini bukan hanya terjadi di Provinsi Babel, tetapi hampir diseluruh belahan bumi Indonesia. Sehingga lucu bila ada yang mengatakan bahwa perekomian di Babel terganggu gara-gara pertimahan,” pungkas Lulusan Teknik Lingkungan tersebut. (jar)

5 Publizr Home


You need flash player to view this online publication