13

HARI “RABU ABU” DALAM GEREJA KATOLIK Herman F. Pangemanan H ARI Rabu Abu (Ash Wednesday) biasa disebut Feria Quarta Cinerum dalam ritus Latin. Feria berarti ‘hari peringatan’; quarta = ‘yang keempat’ (hari keempat); cinis/cineris = ‘debu’. Namun tradisi pemberian abu dalam Gereja telah dipraktikkan jauh lebih awal daripada tradisi Hari Rabu Abu sendiri. Tradisi pembubuhan abu di kepala/dahi sebagai tanda pertobatan mulai ditetapkan secara resmi oleh Gereja dalam Konsili Nicea tahun 325 (Nicea kini bagian Turki). Menurut para sejarawan, pemberian abu sebenarnya praktik umum di negeri-negeri Messopotamia hingga Israel. Konsili Nicea mengangkat tradisi itu ke dalam Gereja atas desakan Kaisar Konstantin Agung (306-337) yang menawarkan kebijakan sosio-politik menghadapi kekaisaran Romawi. Dalam Konsili Nicea, para bapa Gereja menetapkan pemberian abu menandai hari-hari puasa-pantang umat yang berlaku selama 40 hari sejak hari biasa (Senin) sesudah Minggu ke-4 Tahun Baru. WARTA PAROKI juga pada anak-anak (bahkan pada non-Katolik bila mengikuti ibadah Rabu Abu). Tradisi Rabu Abu yang jatuh pada bulan Februari/Maret dikenang juga oleh Gereja-gereja Anglikan, Methodist, Jadi, permulaan masa puasa kala itu bukanlah Hari Rabu, melainkan hari biasa sesudah Minggu ke-4 tahun baru. Rujukan biblisnya ialah pada masa 40 hari Yesus di padang-gurun dengan menjalankan doa dan puasa (Mat. 4: 1-11; Mrk. 1: 12-13; Luk. 4: 1-13). Pada tahun 601, Paus Gregorius (kepausan 590-604) mengubah awal hari puasa itu menjadi Hari Rabu sesudah minggu ke-4 dari Tahun Baru. Sejak itu, Rabu Abu dipraktikkan Gereja sebagai permulaan masa-puasa-pantang, yang terus diwariskan hingga kini. Paus Gregorius juga menetapkan, masa puasa (Lenten Season) berlangsung 46 hari, yang terdiri dari 40 hari biasa sebagai hari puasa-pantang, dan 6 Hari Minggu di dalam kurun waktu itu sebagai hari non-puasa-pantang. Tradisi ini hingga kini diikuti oleh Gereja yang menghitung Lenten Season seluruhnya 46 hari dengan 40 hari biasa masa puasa-pantang dan 6 Hari Minggunya nonpuasa-pantang. Alasan teologisnya adalah setiap Hari Minggu merupakan Perayaan Penebusan sekaligus hari Kebangkitan Kristus yang karenanya puasa-pantang ditiadakan 6 hari itu. Mengikuti Paus Gregorius, Gereja menetapkan Hari Rabu Abu paling awal jatuh tanggal 4 Februari dan selambat-lambatnya tanggal 10 Maret. Pemberian abu tidak terbatas pada orang dewasa, melainkan Presbyterian, dan Lutheran sebagai awal puasa gerejani mereka. (Gereja-gereja Ortodoks Timur menandai pemberian abu bukan pada Hari Rabu, melainkan pada hari biasa sesudah minggu ke-4 tahun baru). Pemberian abu pada Rabu Abu hingga abad ke10 ialah dengan menaburkannya berbentuk tanda salib pada ubun-ubun kaum beriman, termasuk pada imam dan uskup. Namun sejak abad ke-10, muncul kebiasaan kaum-wanita mengenakan penutup kepala dalam perayaan-perayaan gerejani termasuk Misa. Gereja lalu menyesuaikan diri dengan menggoreskan abu pada dahi kaum wanita. Di Abad Pertengahan (Abad ke-12/13), Gereja mewajibkan kaum klergi menandai kaulkaul kebiaraan mereka dengan menggundulkan bagian-tengah-kepala, yang disebut ‘Tonsura’ (lambang tapa-tobat pada tiga kaul: kemiskinan, kemurnian/selibat, dan ketaatan). Dengan adanya ‘Tonsura’, pemberian abu kepada kaum klergi dilaksanakan dengan menaburkanya di ‘Tonsura’. Karena itulah, kaum klergi zaman dulu berkepala gundul di ubun-ubun karena adanya kewajiban ‘Tonsura’. Dalam perkembangan, Gereja menyederhanakan pemberian abu dengan goresan abu bertandasalib pada dahi kaum wanita maupun pria, tapi kaum klergi tetap menerimanya di ‘Tonsura’. Oleh Paus Paulus ke-VI, kewajiban Tonsura kaum klergi dihapus lewat motu proprio Ministeria Quaedam pada 15 Augustus 1972. Sejak itu, pemberian abu kepada kaum klergi dengan membubuhi/mengoles abu pada dahi sebagaimana kaum beriman lainnya. Pemberian abu disertai kutiban Kejadian 3: 19b (‘Sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu’). Rumusan Latinnya adalah Memento, homo, quia pulvis es, et in pulverem reverteris: “Ingatlah, manusia, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.” Namun tahun 1969, Gereja merevisi ritus Romawi dan mengganti/memberi (alternatif) rumusan penerimaan abu dengan merujuk Injil Markus 1: 15. Dengan itu, pemberian abu mendapat rumusan baru: “Bertobat, dan percayalah pada Injil.” (WAB) WARTA AMBROSIUS 13

14 Publizr Home


You need flash player to view this online publication